Nilai Tukar USD/IDR dan Arah Tingkat Suku Bunga Kuartal IV 2019

Rachmat Wibisono

Chief Financial Consultant – Vertical Quantum Indonesia 

Siklus bisnis dan ekonomi baru saja memasuki kuartal ke IV tahun 2019 di bulan Oktober ini. Bagi para pelaku bisnis dan keuangan sebagian telah menyusun rencana bisnis untuk tahun 2020, namun sebagian besar lainnya masih meramaikan pasar keuangan untuk mencapai target bisnis yang telah ditentukan.

 

Sepanjang tahun 2019  trend slow down perekonomian dunia masih terus berlanjut. Kondisi ini semakin sulit untuk menciptakan rebound karena salah satu motor penggerak ekonomi utama dunia yang diharapkan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu China, malah terlibat ketegangan perang tarif dengan mitra dagangnya Amerika (US). Perang tarif antara US dan China sukses “mengunci” kemungkinan pintu keluar  ke arah pertumbuhan ekonomi dunia yang positif. 

Akibat dari perang tarif tersebut tidak saja dirasakan dampaknya oleh China dan US, namun juga dirasakan oleh hampir sebagian besar negara-negara lain yang terlibat hubungan dagang dan perekonomian serta investasi dengan kedua negara, China dan US. 

Permintaan China terhadap bahan baku dan bahan setengah jadi dan juga energi menjadi menurun akibat perang tarif kedua negara. Demikian juga permintaan barang-barang yang sejenis dari US juga turun. Penurunan supply chain kepada dua kekuatan ekonomi dunia ini menjadikan efek domino terhadap pendapatan nasional negara-negara lain yang selama ini menjadi mitra dagang kedua negara tersebut. Hal ini tentunya akan bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang rendah karena menurunya pendapatan nasional dari sektor luar negeri.

 Angka pertumbuhan ekonomi dunia yang semula diproyeksikan oleh IMF dan World Bnak akan dapat tumbuh 3,5% di tahun 2019 ternyata baru tercapai 3,2% – 3,3% di akhir kwuartal ke III tahun 2019. Dari proyeksi kedua lembaga (IMF dan World Bank) dapat juga di lihat bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tidak dapat bertumpu kembali kepada negara-negara maju (advance economy) yang justru diproyeksikan mengalami perlambatan ekonomi di tahun 2019. Dari tumbuh 2,2% di tahun 2018 menjadi “hanya” 1,8% di tahun 2019. Bahkan perekonomian negara-negara maju diprediksikan kembali mengalami penurunan yang “hanya” dapat tumbuh sebesar 1,7% di tahun 2020.

Satu-satunya kelompok negara yang masih memiliki potensi untuk dapat tumbuh dengan positif adalah emerging market country, Indonesia termasuk di dalamnya. Namun demikian ditengah kondisi perekonomian dunia yang menurun, satu-satunya sumber pertumbuhan ekonomi justru bertumpu pada kekuatan ekonomi kawasan dan domestik. Negara-negara Asia non China dan juga negara-negara sekawasan ASEAN merupakan sumber pertumbuhan yang memungkinkan berperan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi kawasan. Meningkatkan kembali hubungan dagang dan investasi antar negara Kawasan dapat menjadi upaya menggantikan sumber pertumbuhan ekonomi luar negeri yang hilang akibat adanya penurunan permintaan China dan US.

Mendorong kekuatan ekonomi domestik harus menjadi prioritas bagi beberapa negara seperti Indonesia, India dan beberapa negara lain. Hal ini tentunya sejalan dengan potensi konsumsi dalam negeri yang tinggi dari masing-masing negara tersebut. Indonesia dengan bonus demografi dalam bentuk jumlah penduduk, 264 juta jiwa yang 68% -nya (183,7 juta jiwa) merupakan penduduk usia produktif, sangat potensial mendukung tetap berputarnya roda perekonomian domestik.

Untuk meningkatkan peran prekonomian domestik tentu membutuhkan daya beli yang baik didukung oleh tingkat harga (inflasi) yang terkendali. Apabila mengambil cara berfikir kebijakan moneter dalam merangsang tingkat pertumbuhan maka salah satu jalan yang mungkin diambil oleh otoritas moneter adalah dengan menganut rezim tingkat suku bunga rendah. Nampaknya kebijakan ini sudah dijalankan oleh bukan saja negara-negara advance economy, namun juga negara-negara lain di dunia yang bertujuan merangsang pertumbuhan ekonomi domestik. Amerika melalui The Fed sudah mengakhiri rezim tingkat suku bunga tinggi (baca cenderung naik) yang dimulai sejak tahun 2016. Tingkat suku bunga Amerika terakhir naik adalah bulan Desember 2018 (2,5%). Saat ini The Fed telah menurunkan 50 basis point tingkat suku bunga hingga menjadi 2% pada bulan September 2019. Angka 2% diyakini bukan merupakan angka terendah yang diputuskan oleh The Fed. Setidaknya hingga akhir tahun minimal The Fed akan menjaga tingakt suku bunga berada 2%. Namun apabila pertumbuhan ekonomi tidak bergerak dan ditambah dengan pengangguran kembali ke angka 3,6%, nampaknya The Fed akan kembali menurunkan tingkat suku bunga setidaknya 25 basis point hingga akhir tahun 2019.

Indonesia harus dapat memanfaatkan “momentum” ini dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia. Hal ini juga telah dilakukan oleh Bank Indonesia yang terus menjaga selisih tingkat suku bunga BI dan The Fed (interest differential) dengan menurunkan tingkat suku bunga dari 6% menjadi 5,25%. Besaran penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia lebih besar yaitu 75 basis point, dibandingkan penurunan tingkat suku bunga The Fed yang “hanya” 50 basis point. Harapannya penurunan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia cepat direspon oleh perbankan dengan menurunkan tingkat suku bunga kredit perbankan. Sehingga tujuan meningkatkan daya beli Rumah tangga domestik dapat tercapai.

Trend Suku Bunga Rendah Masih Berlanjut Namun Terbatas

Jelaslah sekarang bahwa arah pergerakan tingkat suku bunga hingga akhir tahun 2019 akan berada pada tren menurun namun terbatas. Pada umumnya dengan tingkat bunga dengan tren menurun akan merangsang pertumbuhan indeks harga saham dan komoditas. Namun apabila kita cermati tren penguatan indeks harga di pasar saham dan komoditas tidak tumbuh dengan signifikan. Hal ini disebabkan oleh turunnya serapan permintaan dunia yang mengakibatkan pasar lesu dan berakhir pada rendahnya pertumbuhan pendapatan perusahaan-perusahaan yang listing di bursa saham. Pasar komoditi juga bergerak terbatas karena rendahnya permintaan dunia.

Tingkat suku bunga dengan tren menurun terbatas ini dan juga kondisi ekonomi dunia akan membuat dana mengalir ke pasar obligasi. Khususnya obligasi pemerintah, terutama dengan peringkat investment grade. Risiko resesi ekonomi dan tingginya kemungkinan default pembayaran surat utang korporasi menjadi salah satu alasan mengapa obligasi pemerintah menjadi “save haven”.

Obligasi pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu yang diminati oleh investor baik dalam negeri maupun luar negeri. Masuknya para investor asing akan memberikan dampak penguatan nilai tukar USD/IDR dalam jangka pendek.

 

Nilai Tukar USD/IDR Kuartal IV 2019

Jumlah capital inflow seperti yang tertulis di atas merupakan salah satu potensi yang akan menjadikan nilai tukar IDR menguat terhadap USD. Namun kebocoran dari defisit neraca perdagangan menjadikan permintaan USD tetap tinggi. 

Apabila diperhatikan secara teknikal dari grafik di samping nampak bahwa USD/IDR memiliki volatilitas yang semakin mengecil dari awal tahun 2019. Secara teknikal membentuk pola descending triangle. Pola tersebut cenderung memberikan indikasi USD bearish

USD/IDR diprediksi akan bergerak antara 14.060 dengan standard deviasi 100 point. Setidaknya hingga akhir bulan oktober 2019. Namun apabila penguatan IDR dapat terjadi dan menembus 13.910, yang merupakan support line di tahun 2019 maka akan tercipta trend baru yaitu penguatan IDR atau pelemahan USD. Di sisi lain apabila resistance line terlewati dan menyentuh nilai 14,400 nampaknya akan terjadi pelemahan IDR.

Dengan kondisi pasar semacam ini maka kebutuhan transaksi valas dapat dilakukan dengan memperhatikan perubahan volatilitas pasar. Namun seperti telah dibahas di atas volatilitas USD/IDR akan memiliki trend mengecil jika dibandingkan dengan awal tahun 2019. Trend yang tercipta juga sideways dengan menunggu garis-garis indikator support dan resistance brake.

 

       Bagi perusahaan yang memiliki exposure valas tentunya dibutuhkan teknik manajemen asset dan liabilities khusus agar memperoleh kondisi yang optimal. Namun bagi investor dengan underlying valas tentunya keputusan-keputusan jangka pendek sangat baik diterapkan mengingat tingkat volatilitas pasar yang mengecil dan trend yang sideways.

      Vertical Quantum memiliki program Training Treasury dan Perbankan yang mengupas tuntas dari segi teori, Manajemen Valas dan juga Teknik trading yang berorientasi pada pengalaman praktis. Anda dapat menghubungi Vertical Quantum melalui website www.verticalquantum.com atau hot line 081 333 739 1111.

Scroll to top